Laman

Kamis, 25 Oktober 2012

KEMATIANKU DAN PERNIKAHANNYA


Hari ini, adalah pernikahan adik tiriku. Aku beranjak dari tempat tidurku, berjalan perlahan menuju jendela, kubuka tirai yang sedikit bergoyang tertiup angin pagi yang menyapa wajahku yang sayu. Kutatap lekat-lekat matahari yang mulai beranjak perlahan dari peraduannya. Semalam bintang terlihat indah bersinar, begitupun dengan matahari pagi yang hari ini cahayanya mampu menghangatkan hatiku yang sedang risau. Indahnya mentari pagi yang kupandang lekat-lekat seperti ini tanpa sadar membawaku kembali ke masa-masa dimana aku dan semua perlakuan burukku kepadanya…
            “Ambilkan itu!” Perintahku pada gadis mungil yang cantik berkulit kuning langsat. Ia menatapku sejenak, sebelum akhirnya beranjak mengambilkan kotak make up yang terletak tak jauh dariku. Aku senang sekali mengerjainya, karena aku memang tak suka kepadanya! Adik tiriku, Dinda!.  Ia menyerahkan kotak make up padaku. Aku menerimanya dengan kasar. Hari ini aku akan membuat dia menangis di hari bahagiaku! Rasakan! Batinku.
            Seseorang datang, seorang wanita paruh baya tersenyum padaku. Ia mendatangiku dan melihat wajahku. Ia berniat membantuku berdandan, tapi aku menepisnya dan menyuruhnya menjauh dariku. Wajah kecewanya kembali terpampang rapi diparasnya yang ayu. Dia ibu tiriku yang kubenci, karenannya aku diabaikan! karenanya dan dia, adik tiriku,ayahku mengabaikanku!
Saat prosesi ijab kabul, sempat tertangkap olehku, adikku  menghapus air matanya, ia tertunduk. Rasanya aku senang sekali membuatnya terluka seperti ini. Bagaimana tidak? Aku menikah dengan orang yang selama ini ia cintai, pemuda yang sering ia ceritakan kepada ibunya dan juga ayahku!.
            “Apa kau benar-benar tidak tahu siapa pendonormu selama ini?” Tanya dokter muda dihadapanku. Aku menggeleng kearahnya. Ia menatapku tak percaya. Aku menatapnya kebingungan. Ia lalu berangsur pergi meninggalkanku setelah mengucapkan dua kata “Kau keterlaluan!”.
            Aku masih bingung dengan sikapnya. Saat ia berjalan menjauh dariku dan menghilang dibalik pintu kamarku, aku buru-buru mencabut semua selang yang menancap ditubuhku.  Darah segar mengalir dari telapak tanganku saat aku mencabut jarum infuse dengan paksa. Aku berjalan tertatih-tatih kearah dimana dokter itu berada. Ia pasti diruangannya! Pikirku. Kakiku mulai lemah kurasakan… Aku mencoba berjalan tegar sembari menutupi telapak tanganku dengan tanganku yang lain saat kurasakan darah terus mengalir dan mengalir… Mataku mulai kurasakan berkunang-kunang. Meski begitu aku bisa membaca didinding pintu sebuah tulisan “dr. Saiful” aku tinggal beberapa langkah lagi dari pintu itu.
            Saat aku hendak memutar pintu ruangan itu, telingaku menangkap sebuah percakapan dan suara isak tangis yang sangat kukenal.
            “Aku tak bisa menjalankan operasi itu Dinda! Katakan pada Ayahmu semuanya! Semua sikap buruk kakakmu padamu!” Ucap dokter Saiful marah. “Dia hanya kakak tirimu!” tambahnya keras. Hatiku bertanya-tanya, memang apa hubungannya operasi yang akan kujalani dengan Dinda?
            “Dia memang kakak tiriku, tapi kami seayah!” Ucap Dinda lirih. Aku terperanjat kaget mendengar pernyataannya barusan. Tidak mungkin! Ia dan ibunya baru pindah kerumahku 13 tahun yang lalu. Saat itu usianya masih balita dan aku sudah kelas 3 SD, dan bagaimana mungkin aku memiliki adik yang satu ayah denganku, sedangkan ibuku baru meninggal tiga bulan sebelum pernikahan ayahku digelar dengan ibu tiriku? Pikirku.
            “Aku…… aku adalah anak hasil pengkloningan… aku diinginkan lahir karena kakakku…. Ibuku adalah adik kandung dari Bibi Amira.” Tambah Dinda lirih… Apa? jadi ibu tiriku adalah tanteku? Ada apa ini sebenarnya?
            “Kau tidak perlu berbuat seperti itu… Dinda gadis yang baik..” Ucap Rizal…
            “Kau suka padanya?” Tanyaku kesal karena ia terus membela Dinda.
            “Maksudmu apa? Bukankah aku suamimu?” Ucapnya kesal. Ia menatapku marah.
            “Kau pasti tahu kan kalau adik tiriku yang kau sayangi itu menyukaimu?” Ujarku. Ia terperanjat kaget. “Aku menikahimu karena aku ingin melukai Dinda! Aku benci dengannya! Ayahku, satu-satunya keluarga yang aku miliki lebih menyayanginya, dan ia mengabaikanku! Ia lebih dan lebih menyayangi Dinda, dan aku benci Dinda!” Teriakku kesal
            “Plakk!!!” Rizal menamparku. Aku tersenyum remeh.
            “Ternyata kau juga mencintainya!” Tambahku. Hatiku semakin sakit terasa. Aku menatap Rizal yang menatapku penuh amarah.
            “Suatu hari nanti kau akan tahu siapa sebenarnya Dinda.. dan asal kau tahu aku tak pernah mencintainya!” Ucapnya tajam.
            Ia lalu berangsur pergi meninggalkanku sendirian dikamar ini. Sunyi dan sepi. Aku menatap diriku yang menyedihkan dicermin. Bekas tamparan yang baru saja kuterima masih terasa sangat panas. Lalu darah segar mengalir dari hidungku, bersamaan itu pula beberapa helai rambutku kutemukan ditelapak tanganku. Lalu perlahan demi perlahan kepalaku terasa pening dan gelap mulai datang, memenuhi ruang mataku, selebihnya aku tak tahu apa-apa.
            Aku berlari keluar rumah sakit. Menyetop sebuah taksi. Dr. Saiful masih mengejarku. Ia menatapku dan mobil taksi ini yang semakin menjauh darinya yang berdiri dihalaman rumah sakit. Tanganku masih terasa sakit karena jarum infuse yang kulepas paksa. Air mataku tiba-tiba meleleh. Hatiku berdegup kencang sekali. Saat aku sudah sampai dirumah, aku disambut dengan suara-suara doa yang mengalir dan mengalun lirih memenuhi rumahku. Terlihat Dinda menangis dipelukan ibunya.
            Aku mengalihkan pandaganku dari Dinda kearah sesosok yang tergeletak ditengah-tengah doa, ditengah-tengah orang-orang yang berpakaian hitam yang mengelilingi sesosok yang ditutup kain batik itu. Air mataku semakin deras mengalir. Aku berjalan mendekat. Menyingkirkan tubuh Dinda agar tak menghalangi langkahku. Aku terduduk diatas karpet yang menjadi saksi kesedihan hatiku.
Perlahan namun pasti, kubuka kain batik itu, tertangkap oleh kedua mataku, sosok yang tampan dan yang mulai kucintai karena kebaikan dan ketulusannya bersamaku selama dua tahun ini. Matanya kini tertutup rapat. Tak ada lagi yang memegang tanganku saat dokter menyuntikkan cairan demi cairan di tulang punggungku. Tak ada lagi yang membelai rambutku dan menyisir rambutku dengan lembut. Tak ada lagi yang menghapus air mataku saat aku kesakitan merasakan penyakitku.
            “Kak.. maafkan aku.. aku… aku sungguh-sungguh…” Ucap Dinda lirih
            “Diam!” Perintaku. Aku menatapnya tajam. “Kau ambil ayahku! Dan sekarang karenamu, suamiku meninggal!” Teriakku padanya. Seketika  lantunan doa terhenti karena teriakanku barusan. Dinda masih menangis. Kecelakaan merenggut nyawa suamiku.
            Seorang pria paruh baya masuk… Aku menatap pria paruh baya itu dengan penuh sayang. Ia berjalan mendekat kearahku, kami sudah berdiri berjejer sembari menyaksikan mentari pagi yang memandang kami penuh kasih. Aku menyandarkan kepalaku didadanya, dan sebuah air mata  kembali mengalir…
            “Ayah.. maafkan Naura….” Ucapku lirih. Nafasku masih berat kurasakan. Kepalaku terasa amat sangat sakit dan pinggul sebelah kiriku terasa sangat ngilu.
            “Kau harus berebah.. sore nanti kau akan menjalankan operasi..” Ucap Ayah lirih. Ia kemudian menuntunku keranjang. Aku berebah. Tak lama kemudian Ibu dan adik tiriku datang. Dinda terlihat cantik dengan gaun kebaya putihnya… disusul dr. Saiful terlihat tampan dengan jas kebesarannya. Ia mengingatkanku kepada Rizal, mendiang suamiku.
            Suasana terasa begitu khidmat sekali. Nafasku semakin berat kurasakan. Ayah menyerahkanku untuk bersanding dengan ibu saat namanya dipanggil dan diminta untuk menikahkan adikku. Dua orang lelaki berjabat tangan, mengucapkan janji pernikahan atas namaNya dihadapan para malaikat yang mengamini. Mataku mulai berkunang-kunang.        Dan entah mengapa, aku melihat sesosok suamiku berdiri dihadapanku dengan senyumnya. Air mataku kembali meleleh kembali menatapnya yang bercahaya menatapku dengan tatapan yang penuh kasih.
            Ya Ilahi… persatukan kami kembali
            “Sah?”
            “Sah…” Hanya dua kata itu yang mampu kutangkap. Aku masih menguatkan diriku kala kurasakan sakit disekujur tubuhku mulai menguat dan lemah yang menguasai ragaku. Setelah doa selesai, aku terjatuh dipangkuan Ibu. Kupandang samar-samar dr Saiful yang memeriksaku. Kucari tangan adikku, dan saat aku menemukan tangannya, air mataku meleleh, bersamaan dengan darah segar yang mengalir dihidungku..
            “Maaf.. dan.. te.ri. ma kasih… telah.. menjadi.. donor.. ku.. adikku…” Ucapku lemah. Lalu gelap datang bersama dua orang berbaju putih…
            Aku dan suamiku, Rizal melihat ragaku yang dipeluk dan ditangisi oleh Dinda. Dinda, ia adikku, kami sedarah dari Ayah. Adikku yang dilahirkan hasil pengkloningan antara tante Amira dan Ayah demi menjadi donor saat aku terkena penyakit Leukemia. Mulai dari tali pusarnya, sumsum tulang belakangnya semua ia berikan padaku dengan diam-diam. Aku selalu iri dan marah kepadanya, namun ia tak berhenti menjadi pendonor untukku yang jahat kepadanya, dan sampai kebenaran ini terungkap ia rela mendonorkan ginjalnya untukku sore nanti, di meja operasi yang telah disiapkan. Begitu jahatnya aku melukai hati dan persaannya yang tulus mencintaiku selama ini. Untuk menebus dosaku, aku sengaja memilih hari ini untuk operasi, menunggu penyakitku semakin menguat dan membuatku mati sebelum operasi itu terjadi. Aku tak ingin menjadi bebannya untuk selama-lamanya dan hanya dr. Saiful yang tahu akan hal ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar