Hari ini, adalah
pernikahan adik tiriku. Aku beranjak dari tempat tidurku, berjalan perlahan
menuju jendela, kubuka tirai yang sedikit bergoyang tertiup angin pagi yang
menyapa wajahku yang sayu. Kutatap lekat-lekat matahari yang mulai beranjak
perlahan dari peraduannya. Semalam bintang terlihat indah bersinar, begitupun
dengan matahari pagi yang hari ini cahayanya mampu menghangatkan hatiku yang
sedang risau. Indahnya mentari pagi yang kupandang lekat-lekat seperti ini tanpa
sadar membawaku kembali ke masa-masa dimana aku dan semua perlakuan burukku
kepadanya…
…
“Ambilkan
itu!” Perintahku pada gadis mungil yang cantik berkulit kuning langsat. Ia
menatapku sejenak, sebelum akhirnya beranjak mengambilkan kotak make up yang
terletak tak jauh dariku. Aku senang sekali mengerjainya, karena aku memang tak
suka kepadanya! Adik tiriku, Dinda!. Ia
menyerahkan kotak make up padaku. Aku menerimanya dengan kasar. Hari ini aku
akan membuat dia menangis di hari bahagiaku! Rasakan! Batinku.
Seseorang
datang, seorang wanita paruh baya tersenyum padaku. Ia mendatangiku dan melihat
wajahku. Ia berniat membantuku berdandan, tapi aku menepisnya dan menyuruhnya
menjauh dariku. Wajah kecewanya kembali terpampang rapi diparasnya yang ayu.
Dia ibu tiriku yang kubenci, karenannya aku diabaikan! karenanya dan dia, adik
tiriku,ayahku mengabaikanku!
Saat prosesi ijab kabul,
sempat tertangkap olehku, adikku menghapus air matanya, ia tertunduk. Rasanya
aku senang sekali membuatnya terluka seperti ini. Bagaimana tidak? Aku menikah
dengan orang yang selama ini ia cintai, pemuda yang sering ia ceritakan kepada
ibunya dan juga ayahku!.
…
“Apa
kau benar-benar tidak tahu siapa pendonormu selama ini?” Tanya dokter muda
dihadapanku. Aku menggeleng kearahnya. Ia menatapku tak percaya. Aku menatapnya
kebingungan. Ia lalu berangsur pergi meninggalkanku setelah mengucapkan dua
kata “Kau keterlaluan!”.
Aku
masih bingung dengan sikapnya. Saat ia berjalan menjauh dariku dan menghilang
dibalik pintu kamarku, aku buru-buru mencabut semua selang yang menancap
ditubuhku. Darah segar mengalir dari
telapak tanganku saat aku mencabut jarum infuse dengan paksa. Aku berjalan
tertatih-tatih kearah dimana dokter itu berada. Ia pasti diruangannya! Pikirku.
Kakiku mulai lemah kurasakan… Aku mencoba berjalan tegar sembari menutupi
telapak tanganku dengan tanganku yang lain saat kurasakan darah terus mengalir
dan mengalir… Mataku mulai kurasakan berkunang-kunang. Meski begitu aku bisa
membaca didinding pintu sebuah tulisan “dr. Saiful” aku tinggal beberapa
langkah lagi dari pintu itu.
Saat
aku hendak memutar pintu ruangan itu, telingaku menangkap sebuah percakapan dan
suara isak tangis yang sangat kukenal.
“Aku
tak bisa menjalankan operasi itu Dinda! Katakan pada Ayahmu semuanya! Semua
sikap buruk kakakmu padamu!” Ucap dokter Saiful marah. “Dia hanya kakak
tirimu!” tambahnya keras. Hatiku bertanya-tanya, memang apa hubungannya operasi
yang akan kujalani dengan Dinda?
“Dia
memang kakak tiriku, tapi kami seayah!” Ucap Dinda lirih. Aku terperanjat kaget
mendengar pernyataannya barusan. Tidak mungkin! Ia dan ibunya baru pindah
kerumahku 13 tahun yang lalu. Saat itu usianya masih balita dan aku sudah kelas
3 SD, dan bagaimana mungkin aku memiliki adik yang satu ayah denganku,
sedangkan ibuku baru meninggal tiga bulan sebelum pernikahan ayahku digelar
dengan ibu tiriku? Pikirku.
“Aku……
aku adalah anak hasil pengkloningan… aku diinginkan lahir karena kakakku….
Ibuku adalah adik kandung dari Bibi Amira.” Tambah Dinda lirih… Apa? jadi ibu
tiriku adalah tanteku? Ada apa ini sebenarnya?
…
“Kau
tidak perlu berbuat seperti itu… Dinda gadis yang baik..” Ucap Rizal…
“Kau
suka padanya?” Tanyaku kesal karena ia terus membela Dinda.
“Maksudmu
apa? Bukankah aku suamimu?” Ucapnya kesal. Ia menatapku marah.
“Kau
pasti tahu kan kalau adik tiriku yang kau sayangi itu menyukaimu?” Ujarku. Ia
terperanjat kaget. “Aku menikahimu karena aku ingin melukai Dinda! Aku benci
dengannya! Ayahku, satu-satunya keluarga yang aku miliki lebih menyayanginya,
dan ia mengabaikanku! Ia lebih dan lebih menyayangi Dinda, dan aku benci
Dinda!” Teriakku kesal
“Plakk!!!”
Rizal menamparku. Aku tersenyum remeh.
“Ternyata
kau juga mencintainya!” Tambahku. Hatiku semakin sakit terasa. Aku menatap
Rizal yang menatapku penuh amarah.
“Suatu
hari nanti kau akan tahu siapa sebenarnya Dinda.. dan asal kau tahu aku tak
pernah mencintainya!” Ucapnya tajam.
Ia
lalu berangsur pergi meninggalkanku sendirian dikamar ini. Sunyi dan sepi. Aku
menatap diriku yang menyedihkan dicermin. Bekas tamparan yang baru saja
kuterima masih terasa sangat panas. Lalu darah segar mengalir dari hidungku,
bersamaan itu pula beberapa helai rambutku kutemukan ditelapak tanganku. Lalu
perlahan demi perlahan kepalaku terasa pening dan gelap mulai datang, memenuhi
ruang mataku, selebihnya aku tak tahu apa-apa.
…
Aku
berlari keluar rumah sakit. Menyetop sebuah taksi. Dr. Saiful masih mengejarku.
Ia menatapku dan mobil taksi ini yang semakin menjauh darinya yang berdiri
dihalaman rumah sakit. Tanganku masih terasa sakit karena jarum infuse yang
kulepas paksa. Air mataku tiba-tiba meleleh. Hatiku berdegup kencang sekali.
Saat aku sudah sampai dirumah, aku disambut dengan suara-suara doa yang
mengalir dan mengalun lirih memenuhi rumahku. Terlihat Dinda menangis dipelukan
ibunya.
Aku
mengalihkan pandaganku dari Dinda kearah sesosok yang tergeletak
ditengah-tengah doa, ditengah-tengah orang-orang yang berpakaian hitam yang
mengelilingi sesosok yang ditutup kain batik itu. Air mataku semakin deras
mengalir. Aku berjalan mendekat. Menyingkirkan tubuh Dinda agar tak menghalangi
langkahku. Aku terduduk diatas karpet yang menjadi saksi kesedihan hatiku.
Perlahan namun pasti,
kubuka kain batik itu, tertangkap oleh kedua mataku, sosok yang tampan dan yang
mulai kucintai karena kebaikan dan ketulusannya bersamaku selama dua tahun ini.
Matanya kini tertutup rapat. Tak ada lagi yang memegang tanganku saat dokter
menyuntikkan cairan demi cairan di tulang punggungku. Tak ada lagi yang
membelai rambutku dan menyisir rambutku dengan lembut. Tak ada lagi yang
menghapus air mataku saat aku kesakitan merasakan penyakitku.
“Kak..
maafkan aku.. aku… aku sungguh-sungguh…” Ucap Dinda lirih
“Diam!”
Perintaku. Aku menatapnya tajam. “Kau ambil ayahku! Dan sekarang karenamu, suamiku
meninggal!” Teriakku padanya. Seketika
lantunan doa terhenti karena teriakanku barusan. Dinda masih menangis.
Kecelakaan merenggut nyawa suamiku.
…
Seorang
pria paruh baya masuk… Aku menatap pria paruh baya itu dengan penuh sayang. Ia
berjalan mendekat kearahku, kami sudah berdiri berjejer sembari menyaksikan
mentari pagi yang memandang kami penuh kasih. Aku menyandarkan kepalaku
didadanya, dan sebuah air mata kembali
mengalir…
“Ayah..
maafkan Naura….” Ucapku lirih. Nafasku masih berat kurasakan. Kepalaku terasa
amat sangat sakit dan pinggul sebelah kiriku terasa sangat ngilu.
“Kau
harus berebah.. sore nanti kau akan menjalankan operasi..” Ucap Ayah lirih. Ia
kemudian menuntunku keranjang. Aku berebah. Tak lama kemudian Ibu dan adik
tiriku datang. Dinda terlihat cantik dengan gaun kebaya putihnya… disusul dr.
Saiful terlihat tampan dengan jas kebesarannya. Ia mengingatkanku kepada Rizal,
mendiang suamiku.
Suasana terasa begitu khidmat sekali.
Nafasku semakin berat kurasakan. Ayah menyerahkanku untuk bersanding dengan ibu
saat namanya dipanggil dan diminta untuk menikahkan adikku. Dua orang lelaki
berjabat tangan, mengucapkan janji pernikahan atas namaNya dihadapan para
malaikat yang mengamini. Mataku mulai berkunang-kunang. Dan entah mengapa, aku melihat sesosok
suamiku berdiri dihadapanku dengan senyumnya. Air mataku kembali meleleh
kembali menatapnya yang bercahaya menatapku dengan tatapan yang penuh kasih.
Ya Ilahi… persatukan kami kembali
“Sah?”
“Sah…”
Hanya dua kata itu yang mampu kutangkap. Aku masih menguatkan diriku kala
kurasakan sakit disekujur tubuhku mulai menguat dan lemah yang menguasai
ragaku. Setelah doa selesai, aku terjatuh dipangkuan Ibu. Kupandang samar-samar
dr Saiful yang memeriksaku. Kucari tangan adikku, dan saat aku menemukan
tangannya, air mataku meleleh, bersamaan dengan darah segar yang mengalir
dihidungku..
“Maaf..
dan.. te.ri. ma kasih… telah.. menjadi.. donor.. ku.. adikku…” Ucapku lemah.
Lalu gelap datang bersama dua orang berbaju putih…
Aku
dan suamiku, Rizal melihat ragaku yang dipeluk dan ditangisi oleh Dinda. Dinda,
ia adikku, kami sedarah dari Ayah. Adikku yang dilahirkan hasil pengkloningan
antara tante Amira dan Ayah demi menjadi donor saat aku terkena penyakit
Leukemia. Mulai dari tali pusarnya, sumsum tulang belakangnya semua ia berikan
padaku dengan diam-diam. Aku selalu iri dan marah kepadanya, namun ia tak
berhenti menjadi pendonor untukku yang jahat kepadanya, dan sampai kebenaran
ini terungkap ia rela mendonorkan ginjalnya untukku sore nanti, di meja operasi
yang telah disiapkan. Begitu jahatnya aku melukai hati dan persaannya yang
tulus mencintaiku selama ini. Untuk menebus dosaku, aku sengaja memilih hari
ini untuk operasi, menunggu penyakitku semakin menguat dan membuatku mati
sebelum operasi itu terjadi. Aku tak ingin menjadi bebannya untuk
selama-lamanya dan hanya dr. Saiful yang tahu akan hal ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar