Laman

Selasa, 30 Oktober 2012

KU RELA DIMADU, DEMI KEHORMATAN SUAMIKU


 Mas Hasan, begitulah aku memanggilnya. Beliau adalah seorang laki-laki yang telah memberiku banyak kebahagiaan, menjadikanku seorang istri, seorang ibu, seorang menantu, dan menjadikanku merasa sebagai sosok wanita yang sempurna. Aku benar-benar beruntung mendapatkan suami sebaik dan sebijak Mas Hasan.
Setelah pernikahan kami, Mas Hasan memboyongku ke Jakarta. Kota metropolitan, yang menarik bagi banyak orang yang mencoba peruntungannya mengais rizqi di Ibu Kota. Beruntung pula aku menjadi istri Mas Hasan, karena kebetulan suamiku telah memiliki pekerjaan tetap sebagai kontraktor di perusahaan yang menangani proyek pembangunan perumahan di kawasan elite.
Tahun awal pernikahan kami, sungguh menyenangkan ditambah dengan kehadiran Zahra, buah cinta kami. Lengkap sudah kebahagiaanku. Mas Hasan adalah sosok suami yang baik dan romantic. Sering pula sepulang kerja Mas Hasan membawakanku oleh-oleh makanan kesukaanku, bahkan jika tak sempat mampir di toko, atau ketika keuangan kami menipis di akhir bulan, ia masih menyempatkan diri memetik mawar di halaman rumah kontrakan kami sebagai oleh-oleh untukku.
Hari-hari kami berlalu dengan penuh kebahagiaan. Aku melayani kebutuhan Mas Hasan setiap hari, menyiapkan sarapan, memilihkan bajunya untuk kekantor, dan merawat buah hati kami. Aku memang tidak diijinkan untuk bekerja diluar rumah. “Adik cukup dirumah, jaga dan didik buah hati kita. Tangan Adik terlalu lembut untuk bekerja diluar. Biar Mas saja yang bekerja.” Begitu jawaban suamiku saat aku ingin membantunya bekerja.
 Suatu ketika, saat kelahiran putra kami yang kedua, Fauzan. Allah menguji keluarga kami, Mas Hasan di PHK dari tempatnya bekerja selama ini. Mas Hasan sangat terpukul kehilangan pekerjaan, sementara tetap harus menanggung nafkah kami bertiga yaitu aku dan kedua buah hati kami. Disaat seperti itulah, dukungan dari seorang istri sangat dibutuhkan. Aku mencoba menghibur Mas Hasan.
“Mas, Allah hanya sedang menguji kesabaran keluarga kita.” Ucapku.
“Aku minta maaf telah membuatmu merasakan kesulitan ini.” Jawab Mas Hasan.
“Tak ada yang harus dimaafkan Mas, tiada seorangpun yang mampu menolak kehendak Allah. Insya Allah, kita akan mendapatkan jalan keluar yang lebih baik”.  Ku coba menenangkan kegundahan Mas Hasan.
“Do’akan Mas dapat pekerjaan lagi yang lebih baik ya…” Pinta Mas Hasan kepadaku seraya mengecup keningku. Aku anggukkan kepalaku dengan senyuman.
“Aku tak peduli berapa banyak atau sedikit jumlah yang dihasilkan dari tangan ini. Tapi aku hanya tahu, tangan ini adalah tangan yang diridhai Allah. Tanggan yang digunakan untuk berpayah-payah mencukupi nafkah keluarga ini”. Kekecup punggung tangan suamiku dan kupeluk ia erat-erat. Kami menangis bersama…
Aku kan selalu mencintaimu, apapun kondisimu
Tak peduli dengan yang sedang ataupun yang akan terjadi
Kau tetap dan akan selalu menjadi kekasihku
Karena kau, adalah suamiku, ayah dari anak-anakku

***
Tiga bulan, Mas Hasan belum juga mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Selama ini ia bekerja serabutan untuk menopang kebutuhan kami. Aku meminta ijin Mas Hasan untuk pulang ke kampung, agar pengeluaran anggaran belanja tidak membengkak. Biaya hidup di Jakarta jauh berbeda bila disbanding dengan di desa. Awalnya Mas hasan menolak, tapi karena berbagai pertimbangan ahkirnya mengijinkanku untuk tinggal sementara di rumah Ibu. Zahra dan Fauzan ikut bersamaku.
Di desa, dekat dengan keluarga, aku tak perlu khawatir dengan buah hatiku. Ibuku dan adikku sering membantuku mengasuh Zahra dan Fauzan, sehingga aku punya waktu luang. Hal ini aku pergunakan untuk membuka bimbingan belajar, untuk membantu ekonomi keluarga. Alhamdulillah Mas Hasan memberiku ijin untuk mengamalkan ilmuku. Hasil dari bimbingan belajar yang aku kelola, cukup untuk kebutuhan anak-anak.
***
Tak terasa telah tiga tahun kami berpisah, selama ini Mas Hasan mengunjungiku sebulan sekali. Dan kepulangannya selalu menjadi hari yang istimewa bagi kami sekeluarga. Ditambah lagi, dengan kehamilan ketigaku. Membuat suasana keluarga semakin bahagia.
 “Dik, Mas ingin suatu saat kita punya mobil. Kalau anak-anak sudah bertambah, sepeda motor kita kan gak muat lagi buat berlima.” Ungkap Mas Hasan suatu ketika.
“Amin, semoga saja Allah mendengar do’a kita. Tapi itu perlu waktu berapa lama Mas? Selama inikan pemasukan keluarga cukup untuk keperluan sehari-hari, anak-anak juga mulai masuk usia sekolah.” Jawabku.
“Ya gampanglah, tinggal nikah saja sama wanita yang punya mobil. Jadi kita kan bisa punya mobil.” Jawabnya enteng.
“Ah… Mas ini ada-ada saja.” Ku cubit pinggangnya keras-keras.
***
Aku tidak pernah menyangka kalau suamiku tidak main-main dengan ucapan itu. Waktu itu aku hanya berfikir bahwa suamiku hanya sedang bercanda saja. Bercengkerama denganku, dan mencoba menggodaiku dengan kalimat poligami itu. Tapi teryata ia membuktikannya, bahwa perkataannya itu bukanlah sekedar gurauan.
Waktu itu Mas Hasan meminta ijinku untuk menikah lagi. Ia menceritakan siapa calon yang ia pilihkan untuk menjadi maduku. Ah… Istri mana yang rela untuk dimadu? Aku rasa didunia ini tak ada istri yang ingin dimadu. Aku sendiri juga tak ingin kejadian ini menimpaku, tapi aku tak kuasa menolak permintaan suamiku dengan melihat kondisinya. Selama ini kami tinggal berjauhan, untuk memboyong kami sekeluarga tinggal di Jakarta bukanlah hal mudah. Sedang aku sendiri tak tega melihat Mas Hasan tinggal sendirian disana. Aku tak ingin suamiku terjerumus dalam hal yang tak kuinginkan.
Bismillah, kuhadapi persidangan yang cukup melelahkan. Untuk mengurus surat ijin yang menyatakan bahwa aku mengijinkan suamiku menikah lagi, bukanlah hal mudah setelah ada Undang-Undang baru itu. Aku terlalu lelah menghadapi semua ini. Tak hanya fikiran, mental, dan fisik dengan kehamilanku yang memasuki usian lima bulan. Aku hanya berserah diri kepada Allah, agar semua berjalan dengan baik.
Banyak pihak yang menyayangkan keputusanku ini, bahkan banyak LSM yang bersedia untuk membantuku dan mengurus semua persidanganku jika aku mau menuntut cerai dari suamiku. Mungkin banyak pula dari mereka yang menilaiku sebagai wanita yang bodoh, dan tertindas oleh hegemoni laki-laki. Hingga dipersidangan yang rumit itu, aku berdiri dihadapan seluruh hadirin dan aku sampaikan kepada semua. Agar mereka membuka mata dan telinga mereka, apa alasanku yang sebenarnya. Bismillah, ya Allah… beri aku kekuatan untuk menghadapi ini semua. Aku berdiri menjawab pertanyaan hakim terkait alasanku mengijinkan suamiku menikah lagi.
“Bapak Hakim yang saya hormati dan seluruh hadirin yang ada di ruangan ini. Sebelum menikah, saya adalagh gadis yang biasa-biasa saja. Tapi kemudian, suami saya Mas Hasan memberikan saya banyak kebahagiaan dengan menjaikan saya sebagai seorang istri, menantu, dan seorang ibu. Sungguh hal itu membuat saya merasa sebagai sosok wanita yang sempurna. Kami melewati banyak kenangan manis saat bersama.
Sedang di sisi lain ada banyak pula wanita yang hingga usia di ambang tiga puluh tahunpun belum juga menemukan pasangannya, belum menemukan seorang laki-laki yang akan membuatnya menjadi sosok yang istimewa. Di lain pihak, ada pula seorang wanita yang telah menikah, untuk waktu yang lama, tapi tak juga dikaruniai seorang putra. Apakah mereka ini tak berhak pula mendapatkan kebahagiaan? Sedang mereka adalah saudara seiman. Saudara kita sesama muslimah.
Orang yang akan dinikahi suami saya adalah rekan kerjanya di kantor. Seorang janda yang  dicerai suaminya karena setelah sepuluh tahun pernikahannya tidak juga dikaruniakan putra. Sebagai rekan kerja suami saya, dan sorang janda yang tentunya mereka akan sering berkomunikasi dan bepergian bersama untuk urusan pekerjaan. Hingga diam-diam muncullah rasa itu diantara mereka.
Salahkah jika suami saya ingin menikahi wanita itu sebagai wujud tanggung jawab atas cintanya dan menolongnya dengan berbagi kebahagian kami? Dan salahkah jika saya mengijinkannya karena saya mencintai suami saya, dan saya hanya ingin menyelamatkan kehormatan suami saya. Apakah anda rela jika suami anda memilih untuk melakukan tindakan yang tidak diridhai Allah karena keegoisan anda? Bukankah Islam membolehkan poligami? Salahkah jika wanita itu menginginkan seorang putra? Dengan menikahi suami saya, anak-anak saya akan menjadi anaknya juga.
Tiada yang bisa mengerti perasaan wanita, kecuali sesama wanita pula, yang memiliki kepekaan hati nurani. Jika saya menuntut cerai seperti yang anda tawarkan? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak saya? Mereka akan kehilangan figure seorang ayah, dan itu akan membuat mereka terluka. Jika anda menanyakan, apakah suami saya dapat berbuat adil? Maka saya akan mengatakan, suami saya adalah seorang yang istimewa. Ia cukup tahu apa kewajibannya sebagai seorang muslim, seorang suami, dan sosok seorang ayah. Ketika saya memutuskan untuk menikah dengannya, saya tahu beliau sosok yang bertanggung jawab. Dan saya tak perlu merasa was-was dan khawatir tentang apa yang anda tanyakan. Saya percaya kepada suami saya dan tak meragukan kredibilitas kepemimpinannya.. Terimakasih…” Semoga pernyataanku mempermudah jalan persidangan ini.
Tak kuasa aku menahan derai air mataku, saat persidangan ini selesai. Hingga salah seorang ibu dari LSM itu menghampiriku menyatakan simpatinya. “Sungguh, baru kali ini saya menemukan sosok seorang istri seperti anda, yang pandai bersyukur atas nikmat yang diberikan melalui tangan suami anda. Anda begitu tegar dalam menghadapi masalah ini. Saya yakin, suami anda bukanlah sosok laki-laki biasa. Ia telah menanamkan suatu keyakinan yang luar biasa dalam diri anda. Dan anda adalah perempuan hebat yang pernah saya temui.” Kemudian ia memelukku erat-erat.
***
Aku bersyukur, Bunda, panggilan kami untuk istri kedua suamiku adalah sosok wanita yang baik, sabar dan santun. Anak-anakpun menyukainya dan cepat akrab dengannya. Lambat laun, ekonomi keluargaku mulai membaik. Tak ada perubahan dalam kehidupan cinta kami, malah rasa itu semakin tumbuh subur. Karena cinta bukanlah meminta, tapi ia selalu  meberi dan memberi segala yang terbaik.
“Dik, dulu Aisyah pernah bertanya pada Rasulullah. Jika ada dua  padang yang satu pernah menjadi tempat gembala orang lain, dan satunya lagi belum. Dipadang mana Beliau akan menggembalakan kambingnya? Untuk memastikan cinta Rasul kepadanya. Kamu gak tanya ke aku,  Dik?” Goda Mas Hasan suatu ketika padaku.
Aku hanya tersenyum. “Memangnya kalau aku tanya, Mas bakal jawab apa?”
“Mas hanya ingin bilang terimakasih. Adik adalah istri yang istimewa, yang selalu ada saat suka dan duka, yang kunikahi saat masih perawan dan memberiku tiga orang anak. Bunda Khadijah yang melahirkan putra putri dari Rasulullah dinikahi Rasul saat janda, Bunda Aisyah yang dinikahi saat perawan, tak berputra. Sedang Adik, adalah perpaduan dari keduannya. Semoga Adik bisa meneladani beliau, ummahatul mu’minin, menjadi istri yang shalihah.” Ungkap Mas Hasan.
“Amin… Alhamdulillah, doain Adik ya Mas…” Kupeluk suamiku erat-erat. ***

13 komentar:

  1. Nice story,,saya suka. Saya share ya, thank you_

    BalasHapus
  2. Jempol untuk temanku Andalusiana Cordoba. Cerpen yang bagus berikut dengan nilai moral dan pelajaran yang tersampaikan melalui cerita. Cerpen ini saya 'share' di facebook, twitter, juga blog saya. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. di sebarkan sebanyak mungkin juga boleh Dheean... thank udah luangin waktuny buat baca.

      Hapus
    2. tak terasa menetes air mata ini....yaa Allah berikan kekuatan dalam ketaqwaan...

      Hapus
  3. subhanaallah ternyata saat ini masih ada wanita muslimah yang meneladani akhlaq dari para istri" nabi....sungguh terharu saya membacanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah juga ya mbak Nuriya... semoga beliau senantiasa dalam kebaikan

      Hapus
  4. Kita semua tidak akan pernah tau dengan ketetapan Allah, ane ma istri alhamdulillah sdh sepakat dgn sadar untuk jalani baik mono maupun poligami, jika itu yg terbaik buat hamba,,,menurut Allah

    BalasHapus
  5. Masalahnya utamanya,,,masihkah ada wanita modern jaman skrg yg mau jadi madu,,,walau istri sya sdh lahir bathin siapp dimadu,,,jika madunya belum datang jga,,,ya apa mau dikata? tentunya Allah sdh paham benar kapasitas hamba Nya,,,,sambil tetap berkhudznudzon penuh kepada Allah,,,iya khan teman?

    BalasHapus