![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglgXyCHDhL9N3myyu9_5kaZoW9bCNtPe_l1bAmAxVTbjjuuKf9tTGQ7VJEpn_koZZB4k6BdzpA1wDz_8mDtEahU6_GJG-7LYSv6j5z7hElLqVnztdehXkStqoLeYh7rU_KFXWNsA1u-apx/s320/%5Bwww.indowebster.com%5D-mawar_merah2_by_4sr0n1.gif)
Setelah
pernikahan kami, Mas Hasan memboyongku ke Jakarta. Kota metropolitan, yang
menarik bagi banyak orang yang mencoba peruntungannya mengais rizqi di Ibu
Kota. Beruntung pula aku menjadi istri Mas Hasan, karena kebetulan suamiku
telah memiliki pekerjaan tetap sebagai kontraktor di perusahaan yang menangani
proyek pembangunan perumahan di kawasan elite.
Tahun awal
pernikahan kami, sungguh menyenangkan ditambah dengan kehadiran Zahra, buah
cinta kami. Lengkap sudah kebahagiaanku. Mas Hasan adalah sosok suami yang baik
dan romantic. Sering pula sepulang kerja Mas Hasan membawakanku oleh-oleh
makanan kesukaanku, bahkan jika tak sempat mampir di toko, atau ketika keuangan
kami menipis di akhir bulan, ia masih menyempatkan diri memetik mawar di
halaman rumah kontrakan kami sebagai oleh-oleh untukku.
Hari-hari kami
berlalu dengan penuh kebahagiaan. Aku melayani kebutuhan Mas Hasan setiap hari,
menyiapkan sarapan, memilihkan bajunya untuk kekantor, dan merawat buah hati
kami. Aku memang tidak diijinkan untuk bekerja diluar rumah. “Adik cukup
dirumah, jaga dan didik buah hati kita. Tangan Adik terlalu lembut untuk
bekerja diluar. Biar Mas saja yang bekerja.” Begitu jawaban suamiku saat aku
ingin membantunya bekerja.
Suatu ketika, saat kelahiran putra kami yang
kedua, Fauzan. Allah menguji keluarga kami, Mas Hasan di PHK dari tempatnya
bekerja selama ini. Mas Hasan sangat terpukul kehilangan pekerjaan, sementara
tetap harus menanggung nafkah kami bertiga yaitu aku dan kedua buah hati kami.
Disaat seperti itulah, dukungan dari seorang istri sangat dibutuhkan. Aku
mencoba menghibur Mas Hasan.
“Mas, Allah hanya
sedang menguji kesabaran keluarga kita.” Ucapku.
“Aku minta maaf
telah membuatmu merasakan kesulitan ini.” Jawab Mas Hasan.
“Tak ada yang
harus dimaafkan Mas, tiada seorangpun yang mampu menolak kehendak Allah. Insya
Allah, kita akan mendapatkan jalan keluar yang lebih baik”. Ku coba menenangkan kegundahan Mas Hasan.
“Do’akan Mas
dapat pekerjaan lagi yang lebih baik ya…” Pinta Mas Hasan kepadaku seraya
mengecup keningku. Aku anggukkan kepalaku dengan senyuman.
“Aku tak peduli
berapa banyak atau sedikit jumlah yang dihasilkan dari tangan ini. Tapi aku
hanya tahu, tangan ini adalah tangan yang diridhai Allah. Tanggan yang
digunakan untuk berpayah-payah mencukupi nafkah keluarga ini”. Kekecup punggung
tangan suamiku dan kupeluk ia erat-erat. Kami menangis bersama…
Aku kan selalu mencintaimu, apapun kondisimu
Tak peduli dengan yang sedang ataupun yang akan terjadi
Kau tetap dan akan selalu menjadi kekasihku
Karena kau, adalah suamiku, ayah dari anak-anakku
***
Tiga bulan, Mas
Hasan belum juga mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Selama ini ia bekerja
serabutan untuk menopang kebutuhan kami. Aku meminta ijin Mas Hasan untuk
pulang ke kampung, agar pengeluaran anggaran belanja tidak membengkak. Biaya
hidup di Jakarta jauh berbeda bila disbanding dengan di desa. Awalnya Mas hasan
menolak, tapi karena berbagai pertimbangan ahkirnya mengijinkanku untuk tinggal
sementara di rumah Ibu. Zahra dan Fauzan ikut bersamaku.
Di desa, dekat
dengan keluarga, aku tak perlu khawatir dengan buah hatiku. Ibuku dan adikku
sering membantuku mengasuh Zahra dan Fauzan, sehingga aku punya waktu luang.
Hal ini aku pergunakan untuk membuka bimbingan belajar, untuk membantu ekonomi
keluarga. Alhamdulillah Mas Hasan memberiku ijin untuk mengamalkan ilmuku.
Hasil dari bimbingan belajar yang aku kelola, cukup untuk kebutuhan anak-anak.
***
Tak terasa
telah tiga tahun kami berpisah, selama ini Mas Hasan mengunjungiku sebulan
sekali. Dan kepulangannya selalu menjadi hari yang istimewa bagi kami
sekeluarga. Ditambah lagi, dengan kehamilan ketigaku. Membuat suasana keluarga
semakin bahagia.
“Dik, Mas ingin suatu saat kita punya mobil. Kalau
anak-anak sudah bertambah, sepeda motor kita kan gak muat lagi buat berlima.”
Ungkap Mas Hasan suatu ketika.
“Amin, semoga
saja Allah mendengar do’a kita. Tapi itu perlu waktu berapa lama Mas? Selama
inikan pemasukan keluarga cukup untuk keperluan sehari-hari, anak-anak juga
mulai masuk usia sekolah.” Jawabku.
“Ya gampanglah,
tinggal nikah saja sama wanita yang punya mobil. Jadi kita kan bisa punya
mobil.” Jawabnya enteng.
“Ah… Mas ini ada-ada
saja.” Ku cubit pinggangnya keras-keras.
***
Aku tidak
pernah menyangka kalau suamiku tidak main-main dengan ucapan itu. Waktu itu aku
hanya berfikir bahwa suamiku hanya sedang bercanda saja. Bercengkerama
denganku, dan mencoba menggodaiku dengan kalimat poligami itu. Tapi teryata ia
membuktikannya, bahwa perkataannya itu bukanlah sekedar gurauan.
Waktu itu Mas
Hasan meminta ijinku untuk menikah lagi. Ia menceritakan siapa calon yang ia
pilihkan untuk menjadi maduku. Ah… Istri mana yang rela untuk dimadu? Aku rasa
didunia ini tak ada istri yang ingin dimadu. Aku sendiri juga tak ingin
kejadian ini menimpaku, tapi aku tak kuasa menolak permintaan suamiku dengan
melihat kondisinya. Selama ini kami tinggal berjauhan, untuk memboyong kami
sekeluarga tinggal di Jakarta bukanlah hal mudah. Sedang aku sendiri tak tega
melihat Mas Hasan tinggal sendirian disana. Aku tak ingin suamiku terjerumus
dalam hal yang tak kuinginkan.
Bismillah,
kuhadapi persidangan yang cukup melelahkan. Untuk mengurus surat ijin yang
menyatakan bahwa aku mengijinkan suamiku menikah lagi, bukanlah hal mudah
setelah ada Undang-Undang baru itu. Aku terlalu lelah menghadapi semua ini. Tak
hanya fikiran, mental, dan fisik dengan kehamilanku yang memasuki usian lima
bulan. Aku hanya berserah diri kepada Allah, agar semua berjalan dengan baik.
Banyak pihak
yang menyayangkan keputusanku ini, bahkan banyak LSM yang bersedia untuk
membantuku dan mengurus semua persidanganku jika aku mau menuntut cerai dari
suamiku. Mungkin banyak pula dari mereka yang menilaiku sebagai wanita yang
bodoh, dan tertindas oleh hegemoni laki-laki. Hingga dipersidangan yang rumit
itu, aku berdiri dihadapan seluruh hadirin dan aku sampaikan kepada semua. Agar
mereka membuka mata dan telinga mereka, apa alasanku yang sebenarnya. Bismillah,
ya Allah… beri aku kekuatan untuk menghadapi ini semua. Aku berdiri
menjawab pertanyaan hakim terkait alasanku mengijinkan suamiku menikah lagi.
“Bapak Hakim
yang saya hormati dan seluruh hadirin yang ada di ruangan ini. Sebelum menikah,
saya adalagh gadis yang biasa-biasa saja. Tapi kemudian, suami saya Mas Hasan
memberikan saya banyak kebahagiaan dengan menjaikan saya sebagai seorang istri,
menantu, dan seorang ibu. Sungguh hal itu membuat saya merasa sebagai sosok
wanita yang sempurna. Kami melewati banyak kenangan manis saat bersama.
Sedang di sisi
lain ada banyak pula wanita yang hingga usia di ambang tiga puluh tahunpun
belum juga menemukan pasangannya, belum menemukan seorang laki-laki yang akan
membuatnya menjadi sosok yang istimewa. Di lain pihak, ada pula seorang wanita
yang telah menikah, untuk waktu yang lama, tapi tak juga dikaruniai seorang
putra. Apakah mereka ini tak berhak pula mendapatkan kebahagiaan? Sedang mereka
adalah saudara seiman. Saudara kita sesama muslimah.
Orang yang akan
dinikahi suami saya adalah rekan kerjanya di kantor. Seorang janda yang dicerai suaminya karena setelah sepuluh tahun
pernikahannya tidak juga dikaruniakan putra. Sebagai rekan kerja suami saya,
dan sorang janda yang tentunya mereka akan sering berkomunikasi dan bepergian
bersama untuk urusan pekerjaan. Hingga diam-diam muncullah rasa itu diantara
mereka.
Salahkah jika
suami saya ingin menikahi wanita itu sebagai wujud tanggung jawab atas cintanya
dan menolongnya dengan berbagi kebahagian kami? Dan salahkah jika saya
mengijinkannya karena saya mencintai suami saya, dan saya hanya ingin
menyelamatkan kehormatan suami saya. Apakah anda rela jika suami anda memilih
untuk melakukan tindakan yang tidak diridhai Allah karena keegoisan anda?
Bukankah Islam membolehkan poligami? Salahkah jika wanita itu menginginkan
seorang putra? Dengan menikahi suami saya, anak-anak saya akan menjadi anaknya
juga.
Tiada yang bisa
mengerti perasaan wanita, kecuali sesama wanita pula, yang memiliki kepekaan
hati nurani. Jika saya menuntut cerai seperti yang anda tawarkan? Apa yang akan
terjadi dengan anak-anak saya? Mereka akan kehilangan figure seorang ayah, dan
itu akan membuat mereka terluka. Jika anda menanyakan, apakah suami saya dapat
berbuat adil? Maka saya akan mengatakan, suami saya adalah seorang yang
istimewa. Ia cukup tahu apa kewajibannya sebagai seorang muslim, seorang suami,
dan sosok seorang ayah. Ketika saya memutuskan untuk menikah dengannya, saya
tahu beliau sosok yang bertanggung jawab. Dan saya tak perlu merasa was-was dan
khawatir tentang apa yang anda tanyakan. Saya percaya kepada suami saya dan tak
meragukan kredibilitas kepemimpinannya.. Terimakasih…” Semoga pernyataanku
mempermudah jalan persidangan ini.
Tak kuasa aku
menahan derai air mataku, saat persidangan ini selesai. Hingga salah seorang
ibu dari LSM itu menghampiriku menyatakan simpatinya. “Sungguh, baru kali ini
saya menemukan sosok seorang istri seperti anda, yang pandai bersyukur atas
nikmat yang diberikan melalui tangan suami anda. Anda begitu tegar dalam
menghadapi masalah ini. Saya yakin, suami anda bukanlah sosok laki-laki biasa.
Ia telah menanamkan suatu keyakinan yang luar biasa dalam diri anda. Dan anda
adalah perempuan hebat yang pernah saya temui.” Kemudian ia memelukku
erat-erat.
***
Aku bersyukur,
Bunda, panggilan kami untuk istri kedua suamiku adalah sosok wanita yang baik,
sabar dan santun. Anak-anakpun menyukainya dan cepat akrab dengannya. Lambat
laun, ekonomi keluargaku mulai membaik. Tak ada perubahan dalam kehidupan cinta
kami, malah rasa itu semakin tumbuh subur. Karena cinta bukanlah meminta, tapi
ia selalu meberi dan memberi segala yang
terbaik.
“Dik, dulu
Aisyah pernah bertanya pada Rasulullah. Jika ada dua padang yang satu pernah menjadi tempat
gembala orang lain, dan satunya lagi belum. Dipadang mana Beliau akan
menggembalakan kambingnya? Untuk memastikan cinta Rasul kepadanya. Kamu gak
tanya ke aku, Dik?” Goda Mas Hasan suatu
ketika padaku.
Aku hanya
tersenyum. “Memangnya kalau aku tanya, Mas bakal jawab apa?”
“Mas hanya
ingin bilang terimakasih. Adik adalah istri yang istimewa, yang selalu ada saat
suka dan duka, yang kunikahi saat masih perawan dan memberiku tiga orang anak.
Bunda Khadijah yang melahirkan putra putri dari Rasulullah dinikahi Rasul saat
janda, Bunda Aisyah yang dinikahi saat perawan, tak berputra. Sedang Adik,
adalah perpaduan dari keduannya. Semoga Adik bisa meneladani beliau, ummahatul
mu’minin, menjadi istri yang shalihah.” Ungkap Mas Hasan.
“Amin… Alhamdulillah,
doain Adik ya Mas…” Kupeluk suamiku erat-erat. ***
Nice story,,saya suka. Saya share ya, thank you_
BalasHapusSip... makasih ya Dheean.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHappy ending
HapusHappy ending
HapusJempol untuk temanku Andalusiana Cordoba. Cerpen yang bagus berikut dengan nilai moral dan pelajaran yang tersampaikan melalui cerita. Cerpen ini saya 'share' di facebook, twitter, juga blog saya. ^^
BalasHapusdi sebarkan sebanyak mungkin juga boleh Dheean... thank udah luangin waktuny buat baca.
Hapustak terasa menetes air mata ini....yaa Allah berikan kekuatan dalam ketaqwaan...
Hapusamin....
Hapussubhanaallah ternyata saat ini masih ada wanita muslimah yang meneladani akhlaq dari para istri" nabi....sungguh terharu saya membacanya..
BalasHapusalhamdulillah juga ya mbak Nuriya... semoga beliau senantiasa dalam kebaikan
HapusKita semua tidak akan pernah tau dengan ketetapan Allah, ane ma istri alhamdulillah sdh sepakat dgn sadar untuk jalani baik mono maupun poligami, jika itu yg terbaik buat hamba,,,menurut Allah
BalasHapusMasalahnya utamanya,,,masihkah ada wanita modern jaman skrg yg mau jadi madu,,,walau istri sya sdh lahir bathin siapp dimadu,,,jika madunya belum datang jga,,,ya apa mau dikata? tentunya Allah sdh paham benar kapasitas hamba Nya,,,,sambil tetap berkhudznudzon penuh kepada Allah,,,iya khan teman?
BalasHapus