"Um, hari ini kita gak jadi pulang. Kuliah onlineku libur selama puasa. Jadi kita buka puasa di sini saja, gak usah ke rumah mamak." Kata suamiku sambil berdiri di pintu kamar.
Aku menggeliat setengah kaget. Bukannya kemarin rencana kita mau pulang dan cuman nginep sehari saja? Huh... kebiasaan dech, ganti jadwal mendadak.
"Ayo Um, bangun gih, trus masak. Tak kasih uang untuk belanja." lanjutnya kemudian.
Asik... dikasih uang buat belanja, batinku riang. Segera aku bangun dari tidur siang, sambil mikir ntar belanja apa ya? Belom sempat bicara apa-apa suami udah main komando aja.
"Ini uang belanjanya lima ribu. Umi pikir sendiri, uang segitu cukup untuk beli apa."
***
Lima ribu. Buat masak apa ya? Hmm.... bikin omelet mie. Tinggal beli telur dan mie instan. Ups, tapi gak punya minyak goreng. Apa bikin sambal tempe saja ya, beli minyak sama tempe. Atau sayur bening trus lauk tempe? Ah... gak cukup uangnya. Kan buat makan sampe sahur juga. Ya udah, beli gorengan saja lima ribu, dapat sepuluh biji. Cukup buat lauk makan sampai sahur. Ok, tinggal bilang Abi. Ini udah yang paling hemat dan cukup dengan uang lima ribu.
"Mas, buka puasa beli gorengan saja ya, lima ribu." tanyaku.
"Jangan gorengan. Uang lima ribu itu jangan langsung dihabiskan dalam sekali belanja. Kita harus hemat. Masak sawi saja di depan, digoreng, makan seadanya."
Aku terdiam, mikir lagi. Tadi dibilang dikasih uang lima ribu untuk belanja, sekarang lima ribu jangan dihabiskan untuk sekali belanja. Bingung, kok materi komunikasi produktif jadi ribet banget.
Ku buka tempat beras yang mulai menggumpal, dan penuh suwati (binatang seperti kutu di beras).
"Bi, ini berasnya masih layak nggak?" Tanyaku, saat melihat beras banyak binatangnya.
"Masih, masak aja. Nggak papa." Jawab suamiku sambil mencuci baju.
Bismillah, ucapku sambil mencuci bolak-balik agar binatang itu hilang.
"Um, aku mau beli sabun. Sabunnya habis."
"Bi, nitip beli minyak goreng sekalian ya." ujarku.
"Harga minyak berapa?"
"Dua ribuan, beli yang kemasan gelas saja. Sekalian sama tempe."
"Tempe gak ada di sana, umi beli aja di warung sebelah tempenya."
"Iya, wes. nitip minyak ya."
"Aku ikut bi." teriak anakku.
"Abi mau beli sabun, nanti nggak beli-beli jajan ya."
"Iya aku gak beli choki-choki, gak beli jajan."
Dalam hatiku alhamdulillah, bisa dapat minyak. Uang lima ribu tadi masih tergeletak di meja. Berarti bisa beli tempe di goreng, trus sayur sawi koreanya bisa di masak sop. Sawi korea, begitulah kata suamiku, secara aku belom pernah makan sayur aneh kayak gitu. Tapi ya weslah, ku petik saja daunnya buat sayur.
Tak lama kemudian suamiku pulang, dengan kondisi anakku sedang menangis. Ia langsung menghambur ke pelukanku, menumpahkan tangisnya. Aku hanya memeluknya erat.
"Lha gak beli jajan, malah minta mobil-mobilan." Begitu gumam suamiku, memberi penjelasan kenapa anakku menangis.
Ku tenangkan anakku hingga tangisnya mereda, dan menawarkan untuk main kelereng saja. Alhamdulillah ia mengerti.
"Harga minyaknya berapa, Bi?"
"Enam ribu lima ratus. Jadi gak usah beli-beli lagi, harga minyaknya udah lebih dari lima ribu."
Kudekati suamiku,
"Bi, bumbunya cuman ada bawang putih sama cabe."
"Kasih bawang merah biar enak."
"Bawang merahnya gak ada, Abi bilang seadanya. Bi, umi dari dulu diajarkan untuk beli kalau gak ada. Trus abi terbiasa untuk makan seadanya. Ada ya makan, gak ada ya gak makan. Apa gak ada jalan tengahnya? Katanya, kalo udah nikah aku dan kamu jadi kita."
"Umi mau sampai kapan ikut Ibu? Kita disini baru satu hari. Kita harus belajar madiri. Beli itu kalau ada uang, kalau gak ada gimana? Umi minta uang ke siapa?"
"Abi."
"Abi mampunya baru bisa ngasih segitu. Ini adalah ujian, kalau kita belum bisa melewati ini, kapan kita lulusnya?"
***
Pukul lima sore, kami pergi ke sawah. Aku menemani anakku melihat layang-layang, sedang suamiku menyemprot tanaman padinya. Setidaknya semilir angin sore ini membuatku senang. Senang melihat tawa bahagia anakku yang harus menunda keinginannya. Anganku melayang setinggi layang-layang senja. Berharap keadaan ini akan menjadi indah pada waktunya.
"Ayo pulang, Um." Panggil suamiku. Aku bergegas adu lari dengan putraku, menyusuri pemantang.
"Aku menang." tawanya menghapus kekhawatiran yang kadang berlebih ada padaku.
"Um, saat kita merasa cukup, kita tak akan memerlukan apa-apa lagi."
Dan itulah makna kaya yang sesungguhnya, saat kita merasa cukup dengan keadaan kita.
***
"Um, ambilkan nasinya."
"Iya."
"Ini buat adik dulu, Abi nanti."
"Abi dulu."
"Adik lo, Bi... Adik dulu ya, Um..."
"Iya."
Segelas teh manis menemani buka puasa kami hari ini. Tumis sawi korea dan nasi putih.
"Enak, Dik?"
"Enak banget, Um. Abi juga tanyaen, enak bi? getu lo, Um."
"Enak, Bi?"
"Enak banget. Alhamdulillah, cukup untuk mengganjal perut sampai besok."
***
Setidaknya, rasa selalu berpikir positif akan meringankan beban kehidupan. Dan itulah kunci dari komunikasi produktif dari tantangan hari pertama ini.
#level1
#day1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar